Senin, 07 September 2015

TAHAPAN PEMERIKSAAN PERKARA SEBELUM PERSIDANGAN
Adapun tahapan-tahapan pemeriksaan perkara sebelum persidangan adalah sebagai berikut:
1. Persiapan awal :
a.    Memasukkan gugatan,
b.    Mendaftarkan gugatan (setelah biaya perkara dilunasi),
c.     Gugatan diberi nomer perkara kemudian diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama,
d.    Penetapan hari sidang,
e.    Panggilan pihak-pihak yang berperkara.
2. Persiapan Sidang:
a.    Setelah Ketua Pengadilan menerima gugatan, maka dia menunjuk Hakim yang ditugaskan untuk menangani perkara tersebut. Pada prinsipnya, pemeriksaan dalam persidangan dilakukan oleh Majlis Hakim. Ketua Pengadilan menunjuk seorang Hakim sebagai ketua majelis dan dua Hakim anggota.
b.    Hakim yang bersangkutan dengan surat ketetapan menentukan hari siding dan memanggil para pihak agar menghadap pada siding Pengadilan Agama pada hari sidang yang telah ditetapkan dengan membawa saksi serta bukti yang diperlukan (HIR pasal 121 ayat 1).
c.     Pemanggilan pihak yang berperkara dilakukanoleh jurusita. Surat panggilan tersebut dinamakan Exploit. Exploit beserta salinan surat gugatan diserahkan pada tergugat pribadi di tempat tinggalnya.
d.    Apabila tergugat tidak ditemukan, surat panggilan tersebut diserahkan kepada Kepala Desa yang bersangkutan untuk diteruskan kepda tergugat (HIR pasal 390 ayat 1).
e.    Apabila tergugat sudah meninggal, maka surat gugatan disampaikan pada ahli warisnya, dan apabila ahli warisnya tidak diketahui maka disampaikan pada Kepala Desa tempat tinggal terakhir
f.     Apabilat empat tinggal tidak diketahui, maka surat panggilan diserahkan pada Bupati untuk ditempelkan pada papan pengumuman di Pengadilan yang bersangkutan
g.    Pasal 126 HIR member kemungkinan untuk memanggil sekali lagi tergugat sebelum perkara diputus Hakim
h.    Setelahmelakukanpanggilan, jurusita harus menyerahkanrelaaspanggilan kepada Hakim yang akan memeriksa perkara yang bersangkutan. Relaas itu merupakan bukti bahwa tergugat telah dipanggil
i.      Padahari yang telah ditentukan siding pemeriksaan perkara dimulai, untuk itu dapat dikutip Bab tentang jalannya persidangan

TAHAPAN PEMERIKSAAN PERKARA SAAT PERSIDANGAN
1. Pembukaan Sidang
a.         Protokoler : “Sidang Pengadilan Agama Malang pada hari _______, 22 Agustus 2015 akan segera dimulai, Majelis Hakim memasuki ruang sidang, hadirin dimohon untuk berdiri”
b.        Majelis Hakim memasuki ruang sidang dan duduk sesuai posisi yang telah ditentukan, panitera sidang duduk di sebelah kanan ketua majelis agak ke belakang, protokoler sidang memberitahukan agar hadirin duduk kembali
c.         Setelah Majelis Hakim menempati tempat duduk masing-masing maka terlebih dahulu Majelis Hakim berdoa bersama/ sendiri. Setelah Majelis Hakim membaca doa, Ketua Majelis Hakim membuka sidang dengan “pada hari ini _____, 22 Agustus 2015 bertepatan dengan …………..H Pengadilan Agama Malang yang memeriksa perkara perdata kami menyatakan dibuka dan terbuka untuk umum, sebelumnya marilah kita bacakan basmalah” lalu diikuti dengan ketukan palu sebanyak 3 kali
d.        Memasuki acara persidangan

2.  Jalannya Persidangan
Apabila persidangan berjalan lancar, maka jumlah persidangan lebih kurang 8 kali, yang terdiri dari siding pertama sampai putusan Hakim.
a.    Hakim memulai dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada penggugat dan tergugat, yang meliputi:
·         Identitas penggugat, sebagai bukti menunjukkan KTP
·         Identitas tergugat, sebagai bukti menunjukkan KTP
·         Apa sudah mengerti maksud didatangkannya para pihak di muka sidang Pengadilan
b.    Hakim menghimbau agar dilakukan upaya perdamaian mediasi

P Pemahaman tentang perdamaian
Dalam pasal 1851 KUH Perdata dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan perdamaian adalah suatu persetujuan dimana kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara. Tahap pertama yang harus dilaksanakan oleh Hakim dalam menyidangkan suatu perkara yang diajukan kepadanya adalah mengadakan perdamaian kepda pihak-pihak yang bersengketa. Peran mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa itu lebih utama dari fungsi hakim yang menjatuhkan putusan terhadap suatu perkara yang diadilinya. Apabila perdamaian dapat dilaksanakan maka itu jauh lebih baik dalam mengakhiri suatu sengketa. Usaha mendamaikan pihak-pihak yang berperkara itu merupakan prioritas utama dan dipandang adil dalam mengakhiri suatu sengketa, sebab mendamaikan itu dapat berakhir dengan tidak terdapat siapa yang kalah dan siapa yang menang, tetap terwujudnya kekeluargaan dan kerukunan. Jika tidak berhasil didamaikan oleh Hakim, maka barulah proses pemeriksaan perkara dilanjutkan. Kewajiban hakim dalam mendamaikan pihak-pihak yang berperkara adalah sejalan dengan tuntutan ajaran Islam (Q.S. Al-Hujurat: Persetujuan perdamaian ini tidak sah melainkan harus dibuat secara tertulis. Kemudian dalam pasal 130 HIR dikemukakan bahwa jika pada persidangan yang telah ditetapkan kedua belah pihak yang berperkara hadir dalam persidangan, maka Ketua Majlis Hakim berusaha mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa tersebut. Jika dapat dicapai perdamaian maka pada hari persidangan hari itu juga dibuatkan putusan perdamaian dan kedua belah pihak dihukum untuk mentaati persetujuan yang telah disepakati itu. Putusan perdamaian yang dimuat di muka sidang itu mempunyai kekuatan hukum tetap dan dapat dilaksanakan eksekusi sebagaimana layaknya putusan biasa yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Terhadap putusan perdamaian ini tidak dapat diajukan banding kepengadilan tingkat banding.

Tenggang waktu proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari sejak pemilihan mediator dan dapat diperpanjang 14 (empat belas) hari sejak berakhirnya masa 40 (empat puluh) hari.

Mediator berkewajiban menyatakan mediasi telah gagal jika salah satu pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai jadwal pertemuan mediasi yang telah disepakati atau telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi tanpa alasan setelah dipanggil secara patut.

Syarat formal dalam upaya perdamaian
a.    Adanya persetujuan kedua belah pihak,
b.    Mengakhiri sengketa,
c.     Perdamaian atas sengketa yang telah ada,
d.    Bentuk perdamaian harus tertulis (putusan perdamaian dan akta perdamaian).

Berakhirnya mediasi akan membawa konsekuensi bagi para pihak sebagai berikut :
1.    Para pihak bebas menarik diri dari proses mediasi. Penarikan tersebut tidak menghilangkan beberapa konsekuensi yang timbul, misalnya keharusan untuk mengeluarkan biaya atau segala sesuatu yang telah disetujui, selama berjalannya diskusi-diskusi dalam mediasi.
2.    Jika mediasi sukses, para pihak memnandatangani akta perdamaian atau dokumen yang menguraikan beberapa persyaratan penyelesaian sengketa.

Kadang-kadang jika mediasi tidak berhasil pada tahap pertama, para pihak mungkin setuju untuk menunda mediasi sementara waktu. selanjutnya, jika mereka ingin meneruskan atau mengaktifkan kembali mediasi, hal tersebut akan memberikan kesempatan terjadinya diskusi-diskusi baru, yang sebaiknya dilakukan pada titik mana pembicaraan sebelumnya ditunda.

Pembacaan surat gugatan selalu oleh penggugat atau oleh kuasa hukumnya, kecuali kalau penggugat buta huruf atau menyerahkan kepada panitera sidang. Pada tahap ini perubahan gugatan diperkenankan berdasarkan Pasal 127 Rv berbunyi : “Penggugat berhak untuk mengubah atau mengurangi tuntutannya sampai saat perkara diputus, tanpa boleh mengubah atau menambah pokok gugatannya. Dan oleh karena Pasal 127 Rv sendiri menegaskan melakukan perubahan gugatan adalah hak penggugat, berarti menurut hukum:
1.         Penggugat berhak mengajukan perubahan gugatan kepada majelis hakim yang memeriksa perkara.
2.         Bukan meminta atau memohon izin atau perkenaan untuk melakukan perubahan gugatan.
3.         Perubahan gugatan tersebut dapat dilakukan apabila tidak bertentangan dengan azas-azas hukum secara perdata, tidak mengubah atau menyimpang dari kejadian materiil (Pasal 127 Rv; asal tidak mengubah atau menambah petitum, pokok perkara, dasar dari gugatan) Perubahan gugatan dilarang jika:
a.         apabila berdasarkan atas keadaan/fakta/peristiwa hukum yang sama dituntut hal yang lain (dimohon suatu pelaksanaan hal yang lain
b.         penggugat mengemukakan/mendalilkan keadaan fakta hukum yang baru dalam gugatan yang diubah.

Mengenai batas waktu perubahan gugatan terdapat tiga pendapat:
·      Batas Waktu Pengajuan Perubahan Gugatan Sampai saat perkara diputus. Maksudnya selama persidangan berlangsung penggugat berhak melakukan dan mengajukan perubahan gugatan. Menurut Prof. Asikin dalam putusan MA No.943 K/SIP/1987, 19 September 1987, terdapat penegasan yang memperbolehkan perubahan gugatan selama persidangan.
·      Batas waktu pengajuan pada hari sidang pertama. Penggarisan batas/jangka waktu pengajuan perubahan gugatan hanya boleh dilakukan pada hari sidang pertama yang disyaratkan para pihak harus hadir.
·      Sampai pada tahap Replik-Duplik. hal ini dalam rangka menjaga keseimbangan kepentingan para pihak. Dalam putusan MA.546 K/Sep/1970; menggariskan perubahan gugatan tidak dapat dibenarkan apabila tahap pemeriksaan sudah selesai, konklusinya sudah dikemukan dan kedua belah pihak telah memohon putusan.

Syarat perubahan gugatan
1.    Pengajuan perubahan pada siding pertama dihadiri tergugat. Syarat formil ini ditegaskan oleh MA yang menyatakan:
•       Diajukan pada hari siding pertama.
•       Para pihakhadir.
2.    Memberi hak kepada tergugat menanggapi. Syarat formi lini digariskan oleh MA yang menyatakan:
·        Menanyakan kepada tergugat tentang perubahan itu.
·        Memberi hak dan kesempatan untuk menanggapi dan membela kepentingannya
3.    Tidak menghambat acara pemeriksaan.

JawabanTergugat
Secara teknis pemeriksaan perkara di sidang pengadilan menjalani proses jawab-menjawab. Akan tetapi aturan main mengenai proses jawab-menjawab tidak dijumpai dalam HIR dan Rbg. Ketentuannya digariskan dalam pasal 142 Rv yang menegaskan para pihak dapat saling menyampaikan surat jawaban serta replik dan duplik. Jawaban tergugat ini dilakukan setelah proses perdamaian ditempuh, apabila Majelis Hakim tidak berhasil mendamaikan pihak yang berperkara, maka tahapan berikutnya adalah membacakan surat gugatan penggugat yang dilanjutkan dengan jawab-menjawab.
Dalam memberikan jawaban, tergugat harus berpedoman kepada ketentuan yang te rdapat dalam pasal 121 ayat (2) HRI/ Pasal 145 ayat (2) R.Bg jo. Pasal 132 ayat (1) HRI/ Pasal 158 ayat (1) R.Bg, yaitu dapat mengajukan jawaban secara lisan dan tulisan. Jawaban yang diajukan kepada terguat secara tertulis dijadikan sebagi bagaian dari berita acara dengan meronvoi hal-hal yang tidak perlu, sedangkan yang diajukan secara lisan maka Panitera sedang mencatat jawaban tergugat tanpa adanya gambaran dialog antara Majelis Hakim dengan tergugat, karna tidak ditemukan dasar yang memberikan kesempatan kepada majelis Hakim untuk mengadakan Tanya jawab sebagai perpanjangan tangan dari gugatan penggugat sebab tidak pada tempatnya Majelis hakim menanyakan kepada tergugat mengenai gugatan penggugat.
Pasal 121 ayat (2) HIR jo. Pasal 145 ayat (2) RBg menentukan bahwa pihak tergugat dapat menjawab gugatan penggugat baik secara tertulis maupun lisan. Namun dalam perkembangannya, jawaban diajukan oleh pihak tergugat secara tertulis.

Adapun Jawaban tergugat dapat terdiri dari 2 macam, yaitu:
      Jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara, yang disebut dengan tangkisan atau eksepsi.
      Jawaban yang langsung mengenai pokok perkara (verweer ten principale)Jawaban mengenai pokok perkara dapat dibagi lagi atas dua kategori, yaitu:
1.       Jawaban tergugat berupa pengakuan, Pengakuan berarti membenarkan isi gugatan penggugat, baik sebagian maupuan seluruhnya. Pengakuan merupakan jawaban yang membenarkan isigugatan.
2.       Jawabantergugatberupabantahan, Bila tergugat membantah, maka pihak penggugat harus membuktikannya. Bantahan (verweer) pada dasarnya bertujuan agar gugatan penggugat ditolak.

Replik-Duplik
Replik berasal dari dua kata yaitu re (kembali) dan pliek (menjawab), jadi replik berarti kembali menjawab. Replik adalah jawaban balasan atas jawaban tergugat dalam perkara perdata (JTC simoramgkir,cs 1980 :148),. Sebagaimana halnya jawaban, maka replik juga tidak di atur di dalam HIR/RBG akan tetapi dalam pasal 142 reglemen acara perdata.

Replik biasanya berisi dalil-dalil atau hak hak tambahan untuk menguatkan dalil dalil gugatan penggugat. Penggugat dalam replik ini dapat mengemukakan sumber sumber kepustakaan, pendapat pendapat para ahli, doktrin, kebiasaan, dan sebagainya. Peranan yurisprudensi sangat penting dalam repliek, mengigat kedudukanya adalah salah satu dari sumber hokum.Untuk menyusun replik biasanya cukup dengan mengikuti poin poin jawaban tergugat.
Tahapan ini juga biasanya juga disebut tahap jawab-berjawab, baik antar pihak maupun antara hakim dan pihak.

Hal yang perlu diingat pada tahap ini adalah:
a.    Tergugat selalu mempunyai hak bicara terakhir.
b.    Pertanyaan hakim kepada pihak hendaklah terarah, hanya menanyakan yang relevant dengan hukum. Begitu pula replik duplik dari pihak.
c.     Semua jawaban atau pertanyaan dari pihak ataupun dari hakim, harus melalui dan izin dari ketua majelis.
d.    Pertanyaan dari hakim kepada pihak, yang bersifat umum atau policy arahnya sidang, selalu oleh hakim ketua majelis.

Tergugat juga menyerahkan duplik yaitu tanggapan tergugat terhadap replik tergugat. Antara penggugat dan tergugat saling jawab-menjawab.Tergugat selalu mempunyai hak bicara terakhir. Pertanyaan hakim kepada pihak hendaklah terarah, hanya menanyakan yang relevant dengan hukum. Begitu juga replik-duplik dari pihak. Semua jawaban atau pertanyaan dari pihak ataupun dari hakim, harus melalui dan izin dari ketua majelis. Pertanyaan dari hakim kepada pihak, yang bersifat umum arahnya sidang, selalu oleh hakim ketua majelis. Bilamana pihak-pihak dan hakim tahu dan mengerti jawaban atau pertanyaan mana yang terarah dan relevant dengan hukum, tentunya proses perkara akan cepat, singkat dan tepat.



DAFTAR PUSTAKA
Balitbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI 2007
Dewi,s.h.,m.h, Implementasi Perma No.01/2008 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan. Ppt. Akses 13 04 2011
Febby, mutiara Nelson. Gugatan. Fak, Hukum,UI. Ppt-pdf. Akses 13 04 2011
Rasyid, roihan. Hukum Acara Peradilan Agama. 2012. Raja Grafindo Persada. Jakarta
Harahap, Yahya. Hukum Acara Perdata. 2009. Sinar Grafika, Jakarta.
R. Subekti, Hukum Acara Perdata, (Bandung: Binacipta, 1989)hal. 85

R. Soeroso, S.H., Tata Cara dan Proses Persidangan, 2006, SinarGrafika, Jakarta
Pendahuluan
“Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini”.
Anak kalimat ”perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini” dapat ditemukan petunjuknya dalam pasal 49 yang menyatakan : Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :
perkawinan ;
waris ;
wasiat ;
hibah ;
wakaf ;
zakat ;
infaq ;
shadaqah ; dan
ekonomi syari’ah.
Bidang-bidang tersebut adalah perkara perdata. Maka hukum acara yang dimaksud dengan judul di atas adalah Hukum Acara Perdata Peradilan Agama.

Pengertian Hukum Acara Peradilan Agama
Prof. Dr. Wiryono Prodjodikoro, SH., hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.
R. Suparmono SH. memberikan definisi hukum acara perdata adalah keseluruhan peraturan hukum yang mengatur tentang cara-cara bagaimana mempertahankan, melaksanakan dan menegakkan hukum perdata materiil melalui proses peradilan (peradilan negara).
Prof. Dr. Soedikno Mertokusumo, SH. menyatakan, hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan dari putusannya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hukum Acara Peradilan Agama adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak di muka pengadilan yang terdiri dari cara mengajukan tuntutan dan mempertahankan hak, cara bagaimana pengadilan harus bertindak untuk memeriksa serta memutus perkara dan cara bagaimana melaksanakan putusan tersebut di lingkungan Peradilan Agama.

 Sumber Hukum Acara Peradilan Agama
Pasal 54 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan, Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini. Oleh karena itu dapat tegaskan bahwa sumber hukum acara Peradilan Agama antara lain :
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-undang No. 50 tahun 2009 sebagai perubahan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) untuk Jawa dan Madura.
Rechtsreglement Buitengewesten (RBg.) untuk luar Jawa dan Madura.
Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv).
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991 tentang penggunaan Kompilasi Hukum Islam sebagai pedoman dalam penyelesaian masalah-masalah di bidang Perkawinan, Perwakafan dan Kewarisan.
Yurisprudensi, yaitu kumpulan yang sistematis dari Putusan Mahkamah Agung yang diikuti oleh Hakim lain dalam putusan yang sama.
Surat Edaran Mahkamah Agung sepanjang menyangkut Hukum Acara Perdata.

Asas-asas Hukum Acara Perdata Peradilan Agama
Sebagai landasan Hukum Acara Peradilan Agama, perlu dipedomani Asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama sebagai berikut :
Peradilan Agama adalah Peradilan Negara (pasal 3 ayat (1) Undang-undang No. 4 Tahun 2004, pasal 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-undang Nomor 3 tahun 2006.
Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam (pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
Peradilan Agama menetapkan dan menegakkan hukum berdasarkan keadilan berdasarkan Pancasila (pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
Peradilan Agama memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara berdasarkan hukum Islam (pasal 2, 49 dan Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 3 tahun 2006).
Peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa (pasal 4 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, pasal 57 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 tahun 2006).
Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan (pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, pasal 57 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
Peradilan dilakukan menurut hukum dan tidak membeda-bedakan orang (pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, pasal 58 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
Peradilan dilakukan bebas dari pengaruh dan campur tangan dari luar (pasal 4 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
Peradilan dilakukan dalam persidangan Majelis dengan sekurang-kurangnya tiga orang Hakim dan salah satunya sebagai Ketua, sedang yang lain sebagai anggota, dibantu oleh Panitera Sidang (pasal 17 ayat (1), (2) dan (3) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap Hakim yang mengadili (pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
Beracara dikenakan biaya (pasal 121 ayat (1) HIR, pasal 145 ayat (4) RBg.).
Hakim bersifat menunggu (pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006).
Hakim pasif (pasal 118 ayat (1) HIR, pasal 142 ayat (1) RBg.)
Persidangan bersifat terbuka untuk umum (pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
Hakim mendengar kedua belah pihak (pasal 121 HIR,pasal 145 RBg., pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, pasal 58 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
Tidak harus diwakilkan (pasal 123 HIR, pasal 147 RBg.).
Hakim wajib mendamaikan para pihak (pasal 130 HIR, 154 RBg, pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974).
Hakim membantu para pihak (pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, pasal 58 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
Hakim wajib menghadili setiap perkara yang diajukan kepadanya (pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
Putusan harus disertai alasan (pasal 25 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, pasal 62 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, pasal 184 ayat (1)dan pasal 195 RBg.).
Tiap putusan dimulai dengan kalimat “Bismillahir rahmaanir rahiim” diikuti dengan “Demi Keadilan Berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa” (pasal 57 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
Semua putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (pasal 20 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
Tiap-tiap pemeriksaan dan perbuatan hakim dalam penyelesaian perkara harus dibuat berita acara (pasal 186 HIR, pasa 96 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
Terhadap setiap putusan diberikan jalan upaya hukum berupa banding, kasasi dan peninjauan kembali (pasal 21, 22 dan 23 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
Pelaksanaan putusan Pengadilan wajib menjaga terpeliharanya peri kemanusiaan dan peri keadilan (pasal 36 ayat (4) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).

Pengajuan Tuntutan Hak
Seseorang yang merasa haknya dilanggar oleh orang lain dan ia tidak dapat menyelesaikan sendiri masalahnya itu, dapat mengajukan tuntutan hak kepada Pengadilan untuk menyelesaikannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tuntutan itu harus mengandung kepentingan hukum, point d’interest, poit d’action, geen belang geen actie (tidak ada ada kepentingan, tidak dapat digugat di muka pengadilan). Putusan MARI No. 294 K/Sip/1971 tanggal 7 Juli 1971 menyebutkan, gugatan harus diajukan oleh orang yang mempunyai hubungan hukum.

Surat Gugatan
Gugatan diajukan secara tertulis kepada Ketua Pengadilan di tempat tinggal Tergugat (pasal 118 HIR, 142 RBg), atau jika Penggugat buta huruf, ia dapat mengajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan yang akan mencatat atau menyuruh mencatat Hakim yang ditunjuk, gugatan tersebut dalam Catatan Surat Gugatan. Catatan Surat Gugatan tersebut ditanda tangani oleh Ketua Pengadilan atau Hakim yang ditunjuk itu.

Surat gugatan itu menurut ketentuan pasal 8 Nomor 3 Rv, pada pokoknya harus memuat :
1. Identitas para pihak. Terdiri dari nama, umur, pekerjaan dan tempat tinggal serta kedudukan para pihak dalam perkara yang diajukan.
2. Fundamentum petendi atau dasar tuntutan yang terdiri dari :
Uraian tentang kejadian atau peristiwa yang menjadi dasar pengajuan gugatan. Atau menjelaskan tentang duduk perkaranya sehingga Penggugat merasa hak dilanggar/dirugikan dan menuntut haknya ke Pengadilan.
Uraian tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis pengajuan gugatan yang harus dibuktikan di Pengadilan.
3. Petitum, yaitu apa yang diminta/dituntut agar diputus oleh Hakim dalam persidangan.
Terdiri dari :
Tuntutan pokok atau primer.
Tuntutan tambahan, antara lain :
o Tuntutan provisionil,
o Tuntutan pembayaran bunga moratoir,
o Tuntutan agar Tergugat dihukum membayar uang paksa (dwangsom),
o Tuntutan uitvoerbaar bij voorraad,
o Pembebanan biaya perkara.
Tuntutan subsider atau pengganti. Yaitu permohonan, apabila Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya.

Penggabungan/kumulasi gugatan
Penggabungan/kumulasi gugatan dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu :
1. Penggabungan subyektif. Yaitu penggabungan para pihak berperkara yang terdiri lebih dari seorang. Misalnya beberapa orang Penggugat melawan seorang Tergugat, atau sebaliknya seorang Penggugat melawan beberapa orang Tergugat.
2. Penggabungan obyektif, yaitu penggabungan lebih dari satu tuntutan dalam satu perkara. Misalnya gugatan cerai diajukan bersama dengan gugatan penguasaan anak, nafkah isteri, harta bersama.

Intervensi, yaitu ikut sertanya pihak ke tiga kedalam proses perkara, terdiri dari
1. Voeging, yaitu masuknya pihak ke tiga atas kehendak sendiri dengan bergabung pada salah satu pihak Penggugat atau Tergugat.
2. Vrijwaring, yaitu pihak ke tiga ditarik oleh Tergugat dengan maksud agar ia menjadi penanggung bagi Tergugat.
3. Tussenkomst, ialah pihak ketiga masuk dalam satu proses perkara yang sedang berjalan untuk membela kepentingannya sendiri.

Gugatan secara cuma-cuma (prodeo)
Pada dasarnya beracara di Pengadilan dalam gugatan perdata, dikenakan biaya perkara (pasal 121 ayat (4) dan pasal 182 HIR, pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004). Namun dalam hal Penggugat dan Tergugat tidak mampu, ia dapat mohon kepada Ketua Pengadilan untuk berperkara secara cuma-cuma, sebelum perkara pokok diperiksa oleh Pengadilan (pasal 237 HIR, pasal 273 RBg). Permohonan diajukan dengan melampirkan Surat Keterangan Tidak Mampu yang dibuat oleh Kepala Desa dan diketahui Camat.

Upaya menjamin hak
Untuk kepentingan Penggugat agar terjamin haknya sekiranya gugatannya dikabulkan, undang-undang menyediakan sarana untuk menjamin hak tersebut dengan penyitaan (arrest, beslag). Sita adalah suatu tindakan hukum oleh Hakim yang bersifat eksepsional, atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa, untuk mengamankan barang-barang sengketa atau yang menjadi jaminan dari kemungkinan dipindah tangankan, dibebani suatu jaminan, dirusak atau dimusnahkan oleh pihak yang menguasai barang-barang tersebut, untuk menjamin agar putusan Hakim nantinya dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Hukum Acara Peradilan Agama mengenal beberapa macam sita yaitu :
Sita conservatoir.
Sita revindicatoir.
Sita marital.
Sita eksekusi.
Note : Uraian tentang cata cara sita yang meliputi permohonan, pemeriksaan, pelaksanaan dan hal-
 hal lain yang berkenaan dengan penyitaan dilakukan dalam pembahasan tersendiri.

Perubahan gugatan
Perubahan gugatan tidak diatur dalam HIR dan RBg. Ketentuannya terdapat dalam Rv pasal 127. Perubahan gugatan diperbolehkan, selama tidak merugikan kepentingan kedua belah pihak, yaitu sepanjang tetap berdasarkan pada hubungan hukum yang menjadi dasar tuntutan semula, dan tidak merubah kejadian materiil yang menjadi dasar gugatannya.
 Pencabutan gugatan
Pencabutan gugatan tidak diatur dalam HIR dan RBg. Ketentuannya terdapat dalam Rv pasal 271, yang menyatakan bahwa pencabutan gugatan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Sebelum gugatan diperiksa dalam persidangan, tidak perlu persetujuan dari pihak Tergugat, karena Tergugat secara langsung belum mengetahui tentang adanya gugatan/belum tersentuh kepentingannya.
2. Sebelum Tergugat memberi jawaban, juga tidak perlu mendapat persetujuan Tergugat.
3. Sesudah Tergugat memberi jawaban, pencabutan harus terlebih dulu mendapat persetujuan Tergugat, karena sudah tersentuh kepentingannya.

Pemeriksaan Perkara
Pemeriksaan perkara, didahului dengan persiapan persidangan yang meliputi Penetapan Majelis Hakim, Penunjukan Panitera Sidang, Penetapan Hari Sidang (uraiannya dilakukan dalam pembahasan tersendiri). Sejalan dengan asas Hukum Acara Peradilan Agama bahwa Hakim harus mendengar keterangan kedua belah pihak sebagaimana diuraikan di atas, maka Hakim dengan perantaraan Juru Sita/Juru Sita Pengganti memanggil kedua belah pihak dengan secara resmi dan patut, untuk menghadap ke persidangan (uraian lebih lanjut dalam pembahasan tersendiri).

Setelah para pihak menghadap ke persidangan, pemeriksaan perkara dilakukan dalam sebuah persidangan yang dinyatakan terbuka untuk umum. Selanjutnya proses pemeriksaan perkara dilangsungkan melalui beberapa tahapan yang pada garis besarnya sebagai berikut :
1. Upaya perdamaian (pasal 130 HIR, pasal 154 RBg). Pada permulaan persidangan, sebelum pemeriksaan perkara Hakim wajib mendamaikan antara para pihak berperkara. Jika perdamaian berhasil, oleh Hakim dibuat Akta Perdamaian yang mempunyai kekuatan sebagai putusan. Jika tidak berhasil dilanjutkan pada tahap berikutnya yaitu :
2. Pembacaan surat gugatan. (pasal 131 HIR, pasal 155 RBg). Sebelum pembacaan gugatan ada beberapa kemungkinan yang dilakukan Penggugat yaitu:
a. Mencabut gugatan.
b. Merubah gugatan
c. Mempertahankan gugatan.



Jika gugatan dipertahankan, maka gugatan tersebut dibacakan dan diteruskan pada tahap berikutnya yaitu :
Penyampaian jawaban oleh Tergugat, ada yang berupa :
1. Exeptief verweer (bantahan yang tidak langsung mengenai pokok perkara) terdiri dari:
1.1. Eksepsi formil atau Prosesual eksepsi, diajukan agar supaya pokok perkaranya ditolak
pemeriksaannya oleh Majelis Hakim, meliputi :
Eksepsi absolut, berkenaan dengan perkara yang bersangkutan bukan kewenangan lingkungan Peradilan Agama melainkan kewenangan lingkungan peradilan lain.
Eksepsi relatif berkenaan dengan perkara yang bersangkutan adalah kewenangan Pengadilan laian dalam satu lingkungan Peradilan yang sama.
Eksepsi van gewijsde zaak, berkenaan gugatan yang bersangkutan pernah diputus oleh Hakim Pengadilan yang terdahulu dan putusannya telah berkekuatan hukum tetap.
Eksepsi disqualificatoir, yaitu bahwa Penggugat tidak mempunyai hak untuk mengajukan gugatan, Penggugat salah menentukan pihak Tergugat.
1.2. Eksepsi materiil atau material eksepsi, diajukan agar Hakim yang memeriksa perkara
tidak melanjutkan pemeriksaan karena dalil gugatannya bertentangan dengan hukum perdata materiil, meliputi:
Eksepsi dilatoir, karena gugatan belum tiba saatnya diajukan oleh Penggugat. Atau gugatan belum memenuhi syarat hukum.
Eksepsi aan hanging geding, yaitu perkara yang sama masih bergantung dalam proses pengadilan lain dan belum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Eksepsi peremptoir, menyangkut pokok gugatan, seperti gugatan telah lampau waktunya, atau karena Tergugat telah dibebaskan dari kewajiban membayar.
Eksepsi plurium litis consortium, yaitu bahwa yang digugat seharusnya termasuk Tergugat lain, tidak hanya Tergugat sendiri.
Eksepsi obscuur libel, yaitu bahwa gugatan kabur tidak jelas permasalahannya dan tidak beralasan.
Eksepsi karena petitum yang diajukan tidak didukung oleh positanya.
2. Verweer ten principale (bantahan yang langsung berhubungan dengan pokok perkara), adalah bantahan langsung yang bertujuan melumpuhkan dalil gugatan berupa fakta kejadian/peristiwa hukum yang berkenaan dengan posita, menyingkirkan kekuatan pembuktian dalil gugatan dengan alat bukti lain yang sah sesuai dengan batas minimum pembuktian dan sebagainya.
3. Pengakuan, jawaban yang membenarkan seluruh atau sebagian dalil gugatan. Apabila Tergugat dalam jawabannya mengakui dalil gugatan, maka dalil gugatan dianggap terbukti dan gugatan dapat dikabulkan.
4. Referte, jawaban dengan tidak membantah atau membenarkan gugatan, tetapi menyerahkan kepada kebijaksanaan hakim. Tergugat hanya menunggu putusan Hakim.
5. Rekonpensi atau gugatan balik yang diajukan oleh Tergugat terhadap Penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan (pasal 132 a dan pasal 132 b HIR, pasal 157 dan pasal 158 RBg).
Tujuannya :
Menggabungkan dua tuntutan yang saling berhubungan.
Mempermudah prosedur.
Menghindarkan putusan-putusan yang saling bertentangan.
Mempersingkat dan menyederhanakan pembuktian.
Menghemat biaya.
Syarat-syarat gugatan rekonpensi :
Diajukan bersama-sama dengan jawaban.
Rekonpensi tidak dapat diajukan dalam tingkat banding atau kasasi.
Diajukan terhadap Penggugat dalam kwalitas yang sama.
Diajukan masih dalam lingkup kewenangan Pengadilan yang bersangkutan.
Hanya mengenai perkara yang bersifat sengketa kebendaan.
Bukan mengenai pelaksanaan putusan

Penyampaian Replik dari Penggugat
Yaitu tanggapan terhadap jawaban Tergugat, dengan tetap mempertahankan gugatannya, atau Penggugat merubah sikap dengan membenarkan jawaban/ bantahan Tergugat.

Penyampaian duplik dari Tergugat
Yaitu tanggapan terhadap replik Tergugat, dengan tetap mempertahankan jawabannya, atau bersikap seperti Penggugat dalam repliknya.
Apabila jawab menjawab dianggap cukup, dan terdapat hal-hal yang tidak disepakati, sehingga perlu dibuktikan kebenarannya, maka acara dilanjutkan ke tahap pembuktian.

Pembuktian
Pembuktian adalah suatu upaya para pihak untuk meyakinkan hakim tentang dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu perkara yang dipersengketakan di hadapan sidang Pengadilan.
Yang harus dibuktikan adalah peristiwa atau kejadian yang dikemukakan oleh para pihak dalam hal yang belum jelas atau yang menjadi sengketa.
Yang dibebani wajib pembuktian adalah seseorang yang mengaku mempunyai hak dan seseorang yang membantah hak orang lain, dengan membuktikan adanya hak atau peristiwa yang didalilkan (pasal 163 HIR, pasal 283 RBg, pasal 1865 KUH Perdata).
Tujuannya untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa/kejadian yang diajukan itu merupakan fakta yang benar terjadi, atau dibuktikan kebenarannya, sehingga nampak adanya hubungan hukum antara para pihak.
Dalam acara perdata yang dicari adalah kebenaran formil, sehingga tidak secara tegasmensyaratkan adanya keyakinan hakim. Hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh pihak yang berperkara.

Alat-alat bukti
Alat-alat bukti dalam perkara perdata di Peradilan Agama, sesuai dengan pasal 164 HIR, pasal 284 RBg dan pasal 1866 KUH Perdata berupa :

1. Alat bukti surat/tulisan.
Surat yaitu segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.
Akta ialah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan semula untuk pembuktian.
Akta otentik, akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang membuatnya, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat didalamnya oleh yang berkepentingan.

Kekuatan pembuktian akta otentik ada 3 macam :
Kekuatan pembuktian lahir, didasarkan atas keadaan yang tampak lahirnya. Surat yang tampak lahirnya seperti akta dan memenuhi syarat yang ditentukan, dianggap mempunyai kekuatan seperti akta sepanjang tidak terbukti sebaliknya.
Kekuatan pembuktian formil, membuktikan kebenaran dari pada apa yang dilihat, didengar dan dilakukan pejabat pembuat akta terutama tanggal dan tempat akta dibuat, serta kebenaran tanda tangan di bawah akta tersebut.
Kekuatan pembuktian materiil, membuktikan kepastian tentang materi suatu akta, bahwa pejabat atau para pihak yang membuat akta menyatakan dan melakukan seperti apa yang dimuat dalam akta.


Akta di bawah tangan merupakan suatu akta yang ditandatangani dan dibuat dengan maksud dijadikan alat bukti suatu perbuatan hukum tanpa bantuan seorang pejabat.

Kekuatan pembuktian akta dibawah tangan :
Apabila suatu akta dibawah tangan, isi dan tanda tangan akta diakui oeh yang mebuatnya, maka akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian seperti akta otentik.
Apabila tanda tangan dalam akta disangkal oleh pihak yang menanda tangani, maka pihak yang mengajukan akta harus berusaha membuktikan kebenaran tanda tangan itu.
Surat bukan akta, surat yang dibuat tidak dengan tujuan sebagai alat bukti dan belum tentu ditandatangani. Kekuatan pembuktyiannya diserahkan pada pertimbangan hakim. Misalnya buku register, surat-surat rumah tangga, letter C tanah dsb.

2.  Alat bukti saksi.
Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dalam persidangan.
Syarat-syarat saksi :
Syarat formil saksi :
o Memberikan keterangan di depan Pengadilan
o Bukan orang yang dilarang untuk didengar sebagai saksi (pasal 145 HIR, pasal 172 RBg).
o Bagi kelompok yang berhak mengundurkan diri (pasal 146 a ayat (4) HIR, pasal 174 RBg), menyatakan kesediaan menjadi saksi.
o Mengangkat sumpah menurut agama yang dianutnya.
Syarat materiil saksi :
o Keterangan yang diberikan harus mengenai peristiwa yang dialami, didengar dan dilihat sendiri oleh saksi. Keterangan saksi yang berdasarkan pendengaran orang lain (testimonium de auditu) tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian.
o Keterangan yang diberikan saksi harus menyebutkan sebab-sebab ia mengetahui (pasal 171 ayat (1) HIR, pasal 308 ayat (1) Rbg), jadi tidak cukup hanya keterangan bahwa ia telah tahu. Pendapat atau persangkaan saksi berdasarkan akal pikiran tidak bernilai sebagai alat bukti (pasal 171 ayat (2) HIR, pasal 308 ayat (2) Rbg).
o Keterangan yang diberikan oleh saksi harus saling bersesuaian satu dengan yang lain dan alat bukti yang sah (pasal 172 HIR, pasal 309 Rbg).

Keterangan seorang saksi tanpa dikuatkan alat bukti lain bukan bukan kesaksian (unus testis nullus testis) (pasal 169 HIR, pasal 306 Rbg).

Yang tidak boleh menjadi saksi (pasal 145 HIR,pasal 172 RBg) :
Tidak mampu absolut :
Keluarga sedarah dan semenda dalam keturunan lurus salah satu pihak.
Suami isteri salah satu pihak meskipuin telah bercerai.
Tidak mampu relatif :
Anak belum berumur 15 tahun.
Orang gila meskipun kadang-kadang ingatannya terang.
Yang boleh mengundurkan sebagai saksi (pasal 146 HIR, pasal 174 RBg) :
Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan dari saalah satu pihak.
Keluarga sedarah menurut keturunan lurus dan saudara laki-laki dan perempuan dari suami/isteri salah satu pihak.
Semua orang yang karena martabat, jabatan/hubungan kerja syang sah diwajibkan menyimpan rahasia.

3.  Bukti persangkaan.
Diatur pada pasal 173 HIR, pasal 310 RBg.
Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dikenal atau dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa yang tidak dikenal atau belum terbukti.
Persangkaan sebagai alat bukti bersifat sementara, tak bisa berdiri sendiri, tetapi diambil dari alat bukti lain.




Persangkaan ada 2 macam :
Persangkaan berdasarkan undang-undang.
Contoh : Perkawinan yang tidak memenuhi syarat, dianggap tidak sah menurut undang-undang (pasal 2 ayat (1) Undang-undang No 1 tahun 1974).
Persangkaan yang berupa kesimpulan yang ditarik oleh Hakim dari keadaan yang timbul di persidangan.
Contoh : Adanya 3 (tiga) surat tanda pembayaran (kuitansi) tiga bulan terakhir berturut-turut, timbul persangkaan angsuran bulan-bulan sebelumnya telah dibayar lunas.

4.  Bukti pengakuan.
Diatur pasal 174, 175 dan 176 HIR, pasal 311, 312 dan 313 RBg.
Pengakuan ialah pernyataan seseorang tentang dirinya sendiri, bersifat sepihak dan tidak memerlukan persetujuan pihak lain.
Pengakuan dapat diberikan di muka Hakim di persidangan atau diluar persidangan, dapat pula diberikan secara

Ada tiga macam pengakuan :
Pengakuan murni yaitu pengakuan yang bersifat sederhana dan sesuai sepenuhnya dengan tuntutan pihak lawan.
Pengakuan dengan kualifikasi, pengakuan disertai penyangkalan sebagian .
Contoh : Penggugat menyatakan telah menerima uang sebesar Rp. 5.000.000,- dari Tergugat, dan Tergugat mengaku telah menerima uang dari Penggugat tetapi hanya Rp. 3.000.000,-.
Pengakuan dengan kalusula, yaitu pengakuan disertai keterangan tambahan yang bersifat membebaskan.
Contoh : Isteri menyatakan suami tidak memberi nafkah selama 3 tahun, suami mengakui benar tidak memberi nafkah karena isteri nusyuz.

5.  Bukti sumpah.
Diatur pasal 155 – 158 dan 177 HIR, pasal 182- 185 dan 314 RBg.
Sumpah ialah pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu berjanji atau keterangan dengan mengingat sifat Maha Kuasa Tuhan dan percaya bahwa jika janji atau keterangan itu tidak benar, yang memberikan keterangan akan dihukum oleh-Nya.

Ada dua macam sumpah :
Sumpah promissoir, yaitu sumpah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dilakukan sebelum memberikan kesaksian. Misalnya sumpah saksi atau saksi ahli.
Sumpah assertoir atau confirmatoir, yaitu sumpah untuk meneguhkan bahwa sesuatu hal/peristiwa itu benar demikian atau tidak. Dilakukan sesudah memberikan kesaksian.

Sumpah sebagai alat bukti ( pasal 155 HIR, pasal 182 RBg) ada 3 macam :
Sumpah suppletoir (tambahan/pelengkap), yaitu sumpah yang atas perintah Hakim setelah ada bukti permulaan. Misalnya hanya ada satu saksi (bukti permulaan) karena belum mencukupi, ditambah dengan sumpah tersebut.
Sumpah aestimatoir (penaksiran) yaitu sumpah atas perintah Hakim hanya kepada Penggugat saja, untuk menentukan jumlah uang ganti rugi atau sejumlah uang tertentu dengan rincian yang dituntutnya.
Sumpah decissoir (pemutus), yaitu sumpah yang dilakukan atas permintaan salah satu pihak kepada lawannya, jika tidak ada pembuktian apapun dan dapat dilakukan setiap saat selama proses pemeriksaan di persidangan.

Dengan sumpah ini kebenaran peristiwa yang dimintakan sumpah menjadi pasti. Oleh karena itu sumpah decissoir harus berkenaan dengan hal yang pokok dan bersifat tuntas atau menentukan serta menyelesaikan sengketa. Menolak untuk mengucapkan sumpah akan berakibat dikalahkan.

Saksi ahli
Keterangan saksi ahli (expertise) diatur pada pasal 154 HIR, pasal 181 RBg, pasal 215 Rv.
Keterangan saksi ahli yaitu keterangan pihak ke tiga yang obyektif bertujuan untuk membantu Hakim dalam pemeriksaan guna menambah pengetahuan Hakim sendiri.
Tujuannya agar Hakim memperoleh kebenaran dan keadilan pada masalah yang bersangkutan.

Syarat-syarat saksi ahli :
Orang yang tidak boleh didengan sebagai saksi juga tidak boleh didengar sebagai saksi ahli.
Saksi ahli harus memberikan keterangan secara jujur dan obyektif serta tidak memihak.
Sebelum memberikan keterangan harus bersumpah bahwa ia akan memberikan pendapat tentang soal-soal yang diperiksa menurut pengetahuan/keahliannya dengan sebaik-baiknya.


Pemeriksaan Setempat
Diatur pada pasal 153 HIR, pasal 180 RBg dan 211 Rv.
Yaitu pemeriksaan mengenai perkara oleh Hakim karena jabatannya, yang dilakukan di luar gedung atau tempat kedudukan Pengadilan, agar Hakim dengan melihat sendiri, memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi kepastian tentang peristiwa yang menjadi sengketa.

Putusan
Setelah tahapan pembuktian dalam pemeriksaan perkara dilalui, para pihak diberikan kesempatan untuk mengajukan kesimpulan jika ada. Majelis Hakim kemudian bermusyawarah untuk merumuskan keputusan. Dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan ada dua macam produk keputusan Hakim/Pengadilan :
Putusan.
Penetapan

Putusan Hakim adalah suatu pernyataan yang oleh Hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan terbuka untuk umum, bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan sengketa antar para pihak, sebagi hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (contentious).

Penetapan Hakim adalah suatu pernyataan yang oleh Hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan terbuka untuk umum, sebagi hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (voluntair).

Nilai suatu putusan Hakim terletak pada pertimbangan hukumnya, apakah pertimbangan itu baik atau tidak, dikaitkan dengan ketepatan analisis kasus perkaranya dan kejadian atau peristiwanya berdasarkan fakta hukum.

Putusan Hakim mempunyai tiga macam kekuatan yaitu :
Kekuatan mengikat.
Putusan Hakim itu mengikat para pihak yang berperkara, para pihak harus tunduk dan menghormati putusan itu
Kekuatan pembuktian.
Dengan putusan Hakim itu telah diperoleh kepastian tentang sesuatu yang terkandung dalam putusan, dan menjadi bukti bagi kebenaran sesuatu yang termuat di dalamnya.
Putusan Hakim harus dianggap dan tidak boleh diajukan lagi perkara baru mengenai hal yang sama antara pihak-pihak yang sama.
Kekuatan eksekutorial.
Yaitu kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang telah ditetapkan dalam itu secara paksa oleh alat-alat negara. Oleh karena itu setiap putusan Hakim harus memuat titel eksekutorial yaitu kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Kekuatan hukum tetap.
Suatu putusan mempunyai kekuatan hukum tetap apabila terhadap putusan tersebut, sampai dengan habisnya masa upaya hukum yang ditetapkan menurut undang-undang, tidak dimintakan upaya hukum.

Upaya Hukum
Setiap putusan hakim, tidak dapat luput dari kekeliruan atau kekhilafan, bahkan kadang-kadang bersifat memihak, oleh karena itu putusan hakim dimungkinkan untuk diperiksa ulang melalui upaya hukum.
Upaya hukum adalah suatu upaya untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan, karena salah satu pihak atau para pihak merasa dirugikan kepentingannya dalam memperoleh keadilan dan perlindungan/kepastian hukum, menurut cara-cara yang ditentukan undang-undang.

Ada dua macam upaya hukum :
Upaya hukum biasa terdiri dari :
Verzet.
Verzet atau perlawanan merupakan upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan di luar hadirnya Tergugat (verstek).
Banding.
Yaitu permohonan supaya perkara yang telah diputus oleh Pengadilan Tingkat Pertama diperiksa ulang oleh Pengadilan Tinggi (tingkat banding) karena merasa tidak puas atas putusan Pengadilan Tingkat Pertama, menurut cara-cara yang ditentukan undang-undang.
Kasasi.
Yaitu upaya hukum yang merupakan wewenang Mahkamah Agung untuk memeriksa kembali putusan dari Pengadilan-pengadilan terdahulu, menurut cara-cara yang ditentukan undang-undang.

Upaya hukum luar biasa yaitu :
Peninjauan kembali.
Yaitu peninjauan kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena ditemukannya hal-hal baru (novum) yang dahulu tidak diketahui oleh Hakim, sehingga apabila hal itu diketahui maka putusan hakim akan menjadi lain.

Perlawanan Pihak Ke Tiga (derdenverzet).
Pada asasnya putusan Hakim hanya mengikat para pihak yang berperkara dan tidak mengikat pihak ke tiga. Tetapi ada pihak ke tiga yang merasa hak-haknya dirugikan oleh suatu putusan, ia dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan itu (pasal 378 Rv).

Pelaksanaan Putusan
Pelaksanaan putusan atau eksekusi adalah realisasi dari kewajiban para pihak untuk memenuhi prestasi yang telah ditetapkan dalam putusan tersebut.

Pelaksanaan putusan hakim dapat dilakukan :
Secara suka rela oleh para pihak yang bersengketa.
Secara paksa dengan menggunakan alat negara, apabila pihak terhukum tidak mau melaksanakan secara sukarela.

Ada beberapa jenis pelaksanaan putusan :
Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk menyerahkan suatu barang.
Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang.
Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk melakukan suatu perbuatan tertentu.
Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk menghentikan suatu perbuatan/keadaan.
Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk mengosongkan tanah/rumah.
Eksekusi riil dalam bentuk penjualan lelang.

Daftar pustaka
Hukum Acara Peradilan Agama, Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.
Hukum Acara Peradilan Agama, Abdullah Tri Wahyudi,  S.Ag., S.H.
Administrasi Peradilan Agama, Dr. H. Ahmad Fathoni Ramli, S.H., M.Hum.
Abdul Manan, Dr. H.SH., SIP., MHum., Penerapan Hukum Acara Perdata si Lingkungan Peradilan Agama, yayasan Al Hikmah, Cetakan Pertama Jakarta, 2000.
Mukti Arto, Drs, HA.,SH., Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Cetakan Pertama, Yogyakarta, 1996.
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006, Mahkamah Agung RI., Jakarta, 2006.
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Departemen Agama, Jakarta, 2003.
Eman Suparman, Dr.,SH.,MH., Kitab Undang-undang Peradilan Umum, Fokusmedia, Cetakan Pertama, Bandung, 2004.
Simorangkir, JCT., SH., Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta, 1987.
Soebekti, Prof., R., SH., Hukum Acara Perdata, BPHN, Bina Cipta, Bandung, 1977.
Soeparmono, R.,SH., Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, Mandar Maju, Bandung, 2000.
Sudikno Mertokusumo, Prof., Dr.,SH., Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, edisi ke tiga, Cetakan Pertama, 1988.
Supomo, Prof., Dr., R, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, fasco, Jakarta, 1958.
Tresna, Mr.,R., Komentar HIR, Pradnya Paramita, Cetakan ke sembilan belas, Jakarta, 1996