Jumat, 29 November 2013

Hal Penting dalam Menyusun Gugatan Perdata

Setiap orang yang merasa dirugikan, dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang dianggap merugikan lewat pengadilan. Gugatan dapat diajukan secara lisan (ps 118 ayat 1 HIR 142 ayat 1) atau tertulis (ps 120 HIR 144 ayat 1 Rbg) dan bila perlu dapat minta bantuan Ketua Pengadilan Negeri. Gugatan itu harus diajukan oleh yang berkepentingan. Tuntutan hak di dalam gugatan harus merupakan tuntutan hak yang ada kepentingan hukumnya, yang dapat dikabulkan apabila kebenarannya dapat dibuktikan dalam sidang pemeriksaan.
Mengenai persyaratan tentang isi gugatan tidak ada ketentuannya, tetapi kita dapat melihat dalam pasal 8 R.v. yang mengharuskan adanya pokok gugatan yang meliputi :
  1. Identitas para pihak
  2. Dalil-dalil konkret tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan daripada tuntutan. Dalil-dalil ini lebih dikenal dengan istilah fundamentum petendi
  3. Tuntutan atau petitum ini harus jelas dan tegas. (HIR dan Rbg sendiri hanya mengatur mengenai cara mengajukan gugatan)

1.  Identitas Para Pihak
Yang dimaksud dengan identitas adalah data diri penggugat dan tergugat yang meliputi nama, pekerjaan, tempat tinggal.

2.  Fundamentum Petendi/Posita
Fundamentum petendi adalah dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan yang merupakan dasar serta ulasan dari tuntutan.
  • Fundamentum petendi ini terdiri dari dua bagian :
a.       Bagian yang menguraikan tentang kejadian atau peristiwa (feitelijke gronden) dan
b.      Bagian yang menguraikan tentang dasar hukumnya (rechtgronden)
  • Uraian tentang kejadian merupakan penjelasan duduk perkara tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yurudis dari tuntutan.
  • Mengenai uraian yuridis tersebut tidak berarti harus menyebutkan peraturan-peraturan hukum yang dijadikan dasar tuntutan melainkan cukup hak atau peristiwa yang harus dibuktikan di dalam persidangan nanti sebagai dasar dari tuntutan, yang member gambaran tentang kejadian materiil yang merupakan dasar tuntutan itu
  • Mengenai seberapa jauh harus dicantumkannya perincian tentang peristiwa yang dijadikan dasar tuntutan ada beberapa pendapat :
a.         Menurut Subtantieringstheori, tidak cukup disebutkan hukum yang menjadi dasar tuntutan saja, tetapi harus disebutkan pula kejadian-kejadian yang nyata yang mendahului peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan itu, dan menjadi sebab timulnya peristiwa hukum tersebut misalnya ; bagi penggugat yang menuntut miliknya, selain menyebutkan bahwa sebagai pemilik, ia juga harus menyebutkan asal-asul pemilik itu.
b.         Menurut individualiseringtheori sudah cukup dengan disebutkannya kajadian-kejadian yang dicantumkan dalam gugatan yang sudah dapat menunjukan adanya hubungan hukum yang menjadi dasar tuntutan. Dasar atau sejarah terjadinya hubungan tersebut tidak perlu dijelaskan, karena hal tersebut dapat dikemukakan didalam sidang-sidang yang akan datang dengan disertai pembuktian.
c.          Menurut putusan Mhkamah agung sudah cukup dengan disebutkannya perumusan kejadian materiil secara singkat.

3.  Petitum/Tuntutan
·      Petitum/Tuntutan adalah apa yang dimintakan atau diharapkan penggugat agar diputuskan oleh hakim. Tuntutan itu akan terjawab didalam amar atau diktum putusan. Oleh karenanya petitum harus dirumuskan secara jelas dan tegas.
·      Tuntutan yang tidak jelas atau tidak sempurna dapat barakibat tidak diterimanya tuntutan tersebut. Demikian pula gugatan yang berisi pernyataan-pernyataan yang bertentangan satu sama lain disebut obscuur libel ( guagatan yang tidak jelas dan tidak dapat dijawab dengan mudah oleh pihak oleh pihak tergugat sehungga menyebabkan ditolaknya gugatan) berakibat tidak diterimanya gugatan tersebut.
·      Sebuah tuntutan dapat dibagi menjadi 3, yaitu :
a.    Tuntutan primer atau tuntutan pokok yang langsung berhubungan dengan pokok perkara.
b.    Tuntutan tambahan, bukan tuntutan pokok tetapi masih ada hubungannya dengan pokok perkara.
c.     Tuntutan subsidiair atau pengganti.
·      Meskipun tidak selalu tapi seringkali di samping tuntutan pokok masih diajukan tuntutan tamabahan yang merupakan pelengkap daripada tuntutan pokok.
·      Biasanya sebagai tututan tambahan berwujud :
a.    Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar biaya perkara.
b.    Tuntutan “uivoerbaar bij voorraad” yaitu tuntutan agar putusan dapat dilaksanakan lebih dulu meskipun ada perlawanan, banding atau kasasi. Didalam praktik permohonan uivoerbaar bij voorraad sering dikabulkan. Namun demikian Mahkamah Agung mengintruksikan agar hakim jangan secara mudah memberikan putusan uivoerbaar bij voorraad.
c.     Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar bunga (moratoir) apabila tuntutan yang demikian oleh penggugat berupa sejumlah uang tertentu.
d.    Tuntutan agar tergugat dihukum untuk mambayar uang paksa (dwangsom), apabila hukuman itu tidak berupa pembayaran sejumlah uang selama ia tidak memenuhi isi putusan
e.    Dalam hal gugat cerai sering disertai juga dengan tuntutan nafka bagi istri atau pembagian harta.
·    Mengenai tuntutan subsidiair selalu diajukan sebagai pengganti apabila hakim berpendapat lain. Biasanya tuntutan subsidiair itu berbunyi “ agar hakim mengadili menurut keadilan yang benar” atau “ mohon putusan yang seadil-adilnya” (aequo et bono). Jadi tujuan dari tuntutan subsidiair adalah agar apabila tuntutan primer ditolak masih ada kemungkinan dikabulkannya gugatan yang didasarkan atas kebebesan hakim serta keadilan.
·      Didalam berperkara di Pengadilan kita mengenal gugatan biasa/pada umumnya dan gugatan yang bersifat referte. (Referte adalah jawaban dari pihak tergugat yang berupa menyerahkan seluruhnya kepada kebijaksanaan hakim, tergugat disini tidak membantah dan tidak pula membenarkan isi gugatan)
·      Sebuah gugatan dapat dicabut selama putusan pengadilan belum dijatuhkan dengan catatan :
a.    Apabila gugatan belum sampai dijawab oleh tergugat, maka penggugat dapat langsung mengajukan pencabutan gugatan.
b.    Apabila pihak tergugat sudah memberikan jawaban maka pencabutan gugatan dapat dilaksanakan apabila ada persetujuan dari tergugat.


Sumber : berbagai sumber (referensi hukum acara perdata)

Selasa, 26 November 2013

Hukum Acara Pidana

Hukum Acara Pidana

A. Sejarah Singkat Hukum Acara Pidana.
·           1848 : Diberlakukan hukum IR (Irlands Reglement sataasblad no 16) untuk orang orang pribumi dan Asia asing seperti Cina, Arab, dan lain-lain dan Regelement of strafvordering (hukum acara pidana) dan reglement of the burgelijke recht vordering (hukum acara perdata) untuk bangsa Eropa. Nama pengadilanya adalah Raad Van Justitie yang sekarang menjadi pengadilan tinggi.
·           1941 : Di berlakukan HIR (Het Herzine Inlands Reglement) untuk orang-orang pribumi dan asia asing seperti Cina, Arab, dan lain-lain.Nama pengadilanya adalah Landrad yang sekarang menjadi pengadilan negri.
·           1965 : Awal proses pembuatan KUHAP. Draft belum sempurna.
·           1967 : dibentuk panitia intern dept. kehakiman.
·           1968 : Seminar hukum II di Semarang. Membahas hukum pidana dan HAM.
·           1973 : Panitia intern Dept. kehakiman menyusun naskah Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUUHAP) namun mengalami jalan buntu.
·           1974 : Menteri kehakiman yang sebelumnya adalah Prof. Oemar S. Aji, diganti oleh Prof. Mochtar Koesoemoatmaja. Beliau lebih mengintensifkan pembuatan RUUHAP, menyimpan draft V (karena sebelumnya sudah terjadi perubahan draft sebanyak IV kali), dan menyerahkanya ke kabinet.
·           1979 : RUUHAP diserahkan ke DPR-RI untuk mendapatkan persetujuan.
·           9-9-1981 : RUUHAP disetujui sidang gabungan (SIGAB) komisi I dan III DPR RI.
·           23-9-1981 :  RUUHAP disetujui oleh DPR-RI untuk disahkan oleh Presiden.
·           31-9-1981 : RUUHAP disahkan oleh presiden menjadi UU no.8 tahun 1981.


B. Pengertian Hukum Acara Pidana
Menurut Para Ahli Hukum :
·           Simon : “Hukum acara pidana bertugas mengatur cara-cara negara dengan alat perlengkapanya mempergunakan wewenangnya untuk memidana dan menjatuhkan pidana.”
·           Sudarto : “hukum acara pidana adalah aturan-aturan yang memberikan petunjuk apa yang harus dilakukan pleh pada penegak hukum dan pihak-pihak lain yang terlibat didalamnya apabila ada persangkaan bahwa hukum pidana dilanggar”.


C. Fungsi, Tugas dan Tujuan Hukum Acara Pidana
·      Fungsi Hukum Acara Pidana
Fungsi hukum acara pidana adalah menegakkan/menjalankan hukum pidana. Hukum acara pidana beroprasi sejak adanya sangkaan tindak pidana walaupun tanpa adanya permintaan dari korban kecuali tindakan pidana yang ditentukan lain oleh UU.

·      Tugas Hukum Acara Pidana
Tugas pokok hukum acara pidana:
a.    Mencari kebenaran materil.(kebenaran selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketetapan-ketetapan hukum acara pidana secara jujur, tepat dengan tujuan untuk mencari siapa pelaku yang dapat didakwakan melanggar hukum pidana dan selanjutnya minta pemeriksaan dan putusan pengadilan guna menentukan adakah bukti suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah pelakunya bisa dipersalahkan.
b.    memberikan putusan hakim.
c.     melaksanakan putusan hakim.

Ruang lingkup acara pidana                   tata cara peradilan termasuk pengkhususannya misal peradilan anak, ekonomi, dan lain-lain.

·      Tujuan Hukum Acara Pidana
Mencari kebenaran materiil sekaligus perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.

D.  Asas-asas Hukum Acara Pidana
  1. Semua orang diperlakukan sama didepan hukum.
  2. Penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis dari pejabat berwenang dan dengan cara yang diatur UU.
  3. Asas praduga tak bersalah
  4. Kepada orang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan UU dan atau kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang ditetapkan wajib diberi ganti rugi(hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini). dan rehabilitasi (hak seorang untuk mendapat pemulihan hanya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini) singkat dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi.
  5. Peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, serta bebas, jujur, dan tidak memihak.
  6. Setiap orang yang tengsangkut pidana wajib menerima bantuan hukum.
  7. Terdakwa wajib diberi tahu dakwaanya, dasar hukumnya dan menghubungi dan meminta bantuan penasihat hukum.
  8. Terdakwa harus hadir dalam persidangan.
  9. Terbuka untuk umum kecuali yang ditentukan lain oleh UU.
  10. Pengawasan putusan pengdilan dilakukan oleh ketua pengadilan yang bersangkutan.


E.  Ilmu-ilmu pembantu dalam Hukum Acara Pidana
  • Ilmu logika
berguna untuk membuat hipotesa yang dicocokan dengan fakta yang ada sesudahnya sehingga akan membentuk konstruksi logis tentang ada atau tidak adanya TP.
  • Psikologi
ilmu yang mempelajari jiwa manusia yang sehat. Ilmu ini diperlukan karena setiap orang akan mempunyai keadaan jiwa berbeda dengan manusia lain karena perbedaan lingkungan maupun yang lainnya.
  • psikiatri
ilmu yang mempelajari jiwa manusia yang sakit. Jika seseorang melakukan tindak pidana dalam keadaan sakit jiwa, maka dia tidak bisa dipidana.
  • kriminalistik
mempelajari kejahatan sebagai teknik yang bisa dipelajari misalnya dengan menjelaskan pertanyaan ”Dengan apa, dan bagaimana tindak pidana dilakukan”.
  • kriminologi
Ilmu yang mempelajari kejahatan sebagai sebagai masalah manusiawi. Misalnya dengan mengajukan pertanyaan “Mengapa, dan apa tujuan seseorang melakukan tindak pidana”.


  • hukum pidana/hukum materil tentang pidana
ilmu yang menjelaskan aturan-aturan tentang pidana, dan tidak mungkin ada hukum acara pidana tanpa adanya hukum pidana.

F.     Orang-orang Yang Terlibat Dalam Hukum Acara Pidana
  • Tersangka: orang yang diduga melakukan tp sebelum masuk sidang pengadilan. Jika sudah masuk pengadilan statusnya menjadi terdakwa, dan apabila sudah diputus maka statusnya sebagai terpidana.
  • Saksi: orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentigan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara yang pidana yang ia dengar, lihat atau alami sendiri.
  • Saksi ahli: seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan peradilan.
  • Penyidik: pejabat polisi negara republik Indonesia yang diberi wewenang menurut UU untuk melakukan penyidikan.
  • Penyelidik: pejabat polisi negara republik Indonesia yang diberi wewenang menurut UU untuk melakukan penyelidikan.
  • Penyidik pembantu: pejabat kepolisian negara RI yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan
  • Jaksa: pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
  • Hakim: pejabat pengadilan yang diberi wewenang oleh UU untuk mengadili.
  • Advokat/kuasa hukum.
  • Pejabat aparat eksekusi: bertugas melaksanakan UU pelaksanaan pidana. Misalnya pejabat Lapas (lembaga pemasyarakatan).

G.    Proses Pemeriksaan Sebelum Sampai Pada Pemeriksaan Disidang Pengadilan
Didalam pemeriksaan pendahuluan, sebelum sampai pada pemeriksaan disidang pengadilan, akan melalui beberapa proses sebagai berikut:
1.         Proses Penyelidikan dan Penyidikan.
Menurut KUHP diartikan bahwa penyelidakan adalah serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidanaguna menentukan dapat atau tidak nya dilakukannya penyelidikan(pasal 1 butir lima kuhap). Dengan demikian fungsi penelidikan dilaksanakan sebelum dilakukan penyidikan, yang bertugas untuk mengetahui dan menentukan peristiwa apa yang telah terjadi dan bertugas membuat berita acara serta laporannya yang nantinya merupakan dasar permulaan penyidikan.
Sedangkan yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang acara pidana, untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menentukan tersangkanya (pasal 1 butir 2 KUHAP)
Oleh karena itu, secara kongkrit dapat dikatakan bahwa penyidikan dimulai sesudah terjadinya tindak pidana untuk mendapatkan keterangan-keterangan tentang:
a.       Tindak apa yang telah dilakukannya
b.      Kapan tindak pidana itu dilakuakan
c.       Dimana tindak pidana itu dilakukan
d.      Dengan apa tindak pidana itu dilakukan
e.      Bagaimana tindak pidana itu dilakukan
f.        Mengapa tindak pidana itu dilakukan
g.       Siapa pembuatnya

2.   Petugas-Petugas Penyelidik dan Penyidik
Menurut pasal 4 penyidik adlah setiap pejabat polisi Negara republic Indonesia. Di dalam tugas penyelidikan mereka mempunyai wewenang- wewenangseperti diatur dalam pasal 5 KUHAPsebagai berikut:
  1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tending adanya tindak pidana
  2. Mencari keterangan dan barang bukti
  3. Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menayakan serta memeriksa tanda pengenal diri
  4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Yang termasuk penyidik adalah :
  1. Pejabat polisi Negara Republik Indonesia pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
  2. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
(Yang dimaksud dengan penyidik pegawai negeri sipil tertentu, misalnya pejabat bea dan cukai, pejabat imigrasi dan pejabat kehutanan, yang melakukan tugas penyidikan sesuai dengan wewenang khusus yang diberikan oleh undang-undang yang menjadi dasar hukum nya masing-masing.)
Penyidik sebagai mana yang dimaksud dalam pasal 6 KUHAP berwenang untuk:
  1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya  tindak pidana
  2. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian
  3. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal dari tersangka
  4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan
  5. Melakukan pemeriksaan dan peryitaan surat
  6. Mengambil sidik jari dan memotret seorang
  7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi
  8. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalm hubungannya dengan pemeriksaan
  9. Mengadakan penghentian penyidikan
  10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.(pasal 7 KUHAP)

3.   Pelaksanaan Penyelidikan dan Penyidikan
Penyelidikan dan/atau penyidikan merupakan tidakan pertama yang dapat dan harus dilakukan oleh penyelidik atau penyidik jika terjadi atau timbul persangkaan telah terjadi tindak pidana. Apabila ada persangkaan telah dilakukan tindak kejahatan atau pelanggaran maka harus diusakan apakah hal tersebut sesuai dengan kenyataan, benarkah telah dilakukan tindak pidana dan jika ia siapakah pembuatnya.

Persangkaan atau pengetahuan telah terjadi tindak pidana ini dapat diperoleh dari berbagai sumber yang dapat digolongkan sebagai berikut:
A.   Kedapatan tertangkap tangan (ontdekken op heterdaad)
Adapun yang dimaksud dengan tertangkap tangan adalah:
  1. Tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau
  2. Dengan segera sesudah beberap saat tindakan pidana itu  dilakukan, atau
  3. Sesaat kemudian diserukan oleh khalayak rami sebagai orang yang melakukannya, atau
  4. Apabila sesat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.(pasal 1 butir 19 kuhap)
B.   Diluar tertangkap tangan
Sedangkan dalam hal tidak tertangkap , pengetehuan penyelidik atau penyidik tentang telah terjadinya tindak pidana dapat diperoleh dari:
  1. Laporan
  2. Pengaduan
  3. Pengetahuan sendiri oleh penyelidik atau penyidik

4.   Penangkapan dan Penahanan
Yang dimaksud dengan penangkapan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan.        
Sedangkan penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim.
Jadi, penangkapan dan penahanan adalah merupakan tindakan yang membatasi dan mengambil kebebasan bergerak seseorang. Mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan penahanan terdapat dalam pasal 20 dan 21 ayat 1 dan ayat (4).

5.    Penangguhan dan Penahanan
Untuk menjaga supaya tersangka atau terdakwa yang ditahan tidak dirugiakn kepentingannya karena tindakan penahanan itu yang mungkin akan berlangsung untuk beberapa waktu, diadakan kemungkinan untuk tersangka atau terdakwa mengajukan permohonan agar penahanannya ditangguhkan. Berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam HIR yang menetapkan bahwa pejabat satu-satunya yang berwenang menangguhakan penahanan ialah hakim, maka menurut KUHAP yang berhak menentukan apakah suatu penahanan perlu ditangguhakan atau tidak ialah penyidik atau penuntut umum atau hakim sesuai dengan kewenangannya  masing-masing.

6.   Penggeledahan Badan dan Rumah
Penggeledahan badan dan penggeledahan rumah hanya dapat dilakukan untuk kepentingan penyidikan dan dengan surat perintah untuk itu dari yang berwenang. Yang dimaksud dengan penggeledahn badan ialah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badann atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta untuk disita.

7.      Penyitaan
Yang dimaksud dengan penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan pengadilan.
Disamping itu menurut pasal 39 KUHAP ditentukan bahwa benda  yang dapat dikenakan penyitaan adalah:
  1. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana
  2. benda yang telah digunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya
  3. Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan
  4. Benda yang khusus di buat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana
  5. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana.

8.  Pemeriksaan ditempat kejadian
Pemeriksaan ditempat kejadian pada umumnya dilakukan karena delik yang mengakibatkan kematian, kejahatan seksual, pencurian dan perampokan. Dalam hal terjadinya kematian dan kejahatan seksual, sering dipanggil dokter untuk mengadakan pemeriksaan ditempat kejadiaan diatur dalam pasal 7 KUHAP.

9.  Pemeriksaan tersangka
Sebelum penyidik melakukan  pemeriksaan terhadap seseorang yang dilakukan suatu tindak pidana, maka penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkara itu wajib didampingi penasihat hukum (pasal 114 KUHAP)

10.  Pemeriksaan saksi dan ahli
Saksi adalah  orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradialan tentang suatu perkara pidana  yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
mengenai hal ini, menurut pasal 224 KUHAP yang berbunyi :
“ barang siapa dipanggil menurut undang-undang untuk menjadi saksi, ahli atau juru bahasa dengan sengaja tidak melakukan suatu kewajiban menurut undang-undang, yang ia sebagai demikian harus melakukan:
  1. Dalam perkara pidana dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 9 bulan.
  2. Dalam perkara lain, dipidana dengan pidana penjara selam-lamanya 6 bulan.

11.  Penyelesaian dan Penghentian Penyidikan
Menurut H.A.P. Syarifudin penyidikan itu dianggap selesai ketika dinyatakan bahwa:
  1. Penyidikan dianggap selesai apabila dalam waktu 7 hari,setelah penuntut umum menerima hasil pendidikan dari penyidik,ada pemberitahuan dari penuntut umum bahwa penyidikan diaanggap selesai. Pemberitahuan tersebut merupakan keharusan atau kewajiban bagi penuntut umum seperti yang diatur dalam pasal 138 ayat 1 KUHAP.
  2. Penyidikan diaanggap selesai apabila dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik sebagaimana yang diatur dalam pasal 110 ayat 4 KUHAP.

H.    Surat Dakwaan
Surat dakwaan adalah rumusan tindak pidana sebagai dasar dan batas pemeriksaan dan penuntutan yang dikehendaki UU dalam sidang pengadilan.
1.  Syarat-Syarat Dalam Surat Dakwaan
a.  syarat formil
Identitas lengkap terdakwa, seperti nama lengkap, tempat tanggal lahir, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan.
b.  syarat materiil
harus berisi uraian secar cermat jelas dan lengkap mengenai tindakan pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tp itu dilakukan.

2.  Cara Merumuskan Surat Dakwaan
Cara merumuskan surat dakwaan: harus mengandung gambaran/deskripsi dari apa yang senyatanya terjadi dan mengandung unsur yuridis dari dari tindak pidana yang dilakukan.

3.  Pembatalan Surat Dakwaan
a.            pembatalan formil: karena tidak memenuhi syarat mutlak yang ditentukan UU (batal demi hukum).
b.           pembatalan hakiki: berdasarkan keputusan penilaian hakim karena kurangnya syarat yang dianggap esensil (tergantung maksud dan tujuan surat dakwaan).
Salah satu cara pembelaan adalah membuat alibi, yaitu menyatakan tidak ada di tempat pada waktu kejadian yang disebutkan dalam surat dakwaan.
4.   Macam-macam Surat Dakwaan
  1. dakwaan tunggal : terdakawa hanya didakwa dengan satu dakwaan saja.
  2. dakwaan alternative : terdakwa didakwa dengan  dakwaan. Biasanya karena keraguan jaksa tentang jenis TP apa yang tepat untuk menjadi dasar dakwaan.
  3. dakwaan subsidair : dakwaan dengan mengurutkan dari yang terberat.
  4. dakwaan komulatif : dakwaan sekaligus dan masing-masing berdiri sendiri.
  5. dakwaan campuran: campuran dari dakwaan alternatif, subsidair, dan komulatif.

5.  Syarat penggabungan perkara
  1. beberapa tindak pidana dilakukan oleh beberapa orang yang sama.
  2. saling sangkut-paut antara satu tp dengan tp yang lain.
  3. tidak sangkut paut namun masih saling berhubungan dan dianggap perlu dalam proses pemeriksaan.

Ketentuan sangkut paut:
orang yang bekerjasama dalam waktu dan tempat yang sama maupun berbeda; bermaksud mendapatkan alat untuk melakukan tindak pidana yang lain atau menghilangkan diri dari pemidanaan

Kesimpulan :
Hukum Acara Pidana adalah keseluruhan aturan hukum yang mengatur bagaimana Negara dengan menggunakan alat-alatnya dapat mewujudkan wewenangnya untuk memidana atau membebaskan pidana.

Proses beracara dalam acara pidana adalah sebuah pedoman untuk mengumpulkan data, mengolahnya, menganalisa serta mengkonstruksikannya. Proses beracara dalam hukum pidana mencakup tiga hal, yaitu sah tidaknya suatu penangkapan atau penahanan (Pasal & KUHAP), pemeriksaaan sah tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan (Pasal 80 KUHAP), pemeriksaan tentang permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan (Pasal 81 KUHAP)


Sumber : berbagai sumber.

Minggu, 03 November 2013

Arbitrase

DEFINISI / PENGERTIAN ARBITRASE
Kata “arbitrase” berasal dari bahasa asing yaitu “arbitrare”. Arbitrase juga dikenal dengan sebutan atau istilah lain yang mempunyai arti sama, seperti : perwasitan atau arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris), arbitrage atau schiedsruch (Jerman), arbitrage (Prancis) yang berarti kekuasaan menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Arbitrase di Indonesia dikenal dengan “perwasitan” secara lebih jelas dapat dilihat dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1950,yang mengatur tentang acara dalam tingkat banding terhadap putusan-putusan wasit, dengan demikian orang yang ditunjuk mengatasi sengketa tersebut adalah wasit atau biasa disebut “arbiter”.

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang No.30 Tahun 1999, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umumyang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam dua bentuk, yaitu:
Factum de compromitendo yaitu klausa arbitrase yang tercantum dalam suatau perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa.
Akta Kompromis yaitu suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.

Sebelum UU arbitrase berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur dalam pasal 615 s/d 651 Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu, pada penjelasan pasal 3 ayat 1 Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan.

JENIS-JENIS ARBITRASE 
Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui badan permanen (institusi). Arbitrase Ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturanyang sengaja di bentuk untuk tujuan arbitrase, misalnya Undang-undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pada umumnya arbitrase ad-hoc ditentukan berdasarkan perjanjianyang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang yang telah disepakati oleh para pihak.

Arbitrase insitusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), maupun yang internasional seperti The Rules of Arbitration dari International Chamber of Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri.

LINGKUP ARBITRASE
Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 (“UU Arbitrase”) hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hakyang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.

Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu Pasal 5 (2) UU Arbitrase memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketayang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854.


PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE 

Sengketa Dagang
Sengketa atau perselisihan dalam kegiatan dagang sebenarnya sesuatu yang tidak diharapkan terjadi, karena akan merugikan pihak-pihak yang bersengketa. Oleh sebab itu, kemungkinan terjadinya sengketa dagang perlu diminimalisasi atau dihindari, meskipun demikian terkadang sengketa tidak dapat dihindari karena adanya kesalahpahaman, dan pelanggaran olehsalah salah satu pihak, atau timbul kepentingan yang berlawanan. Perbedaan paham, perselisihan pendapat, pertentangan maupun sengketa tersebut tidak dapat dibiarkan berlarut-larut dan harus diselesaikan secara memuaskan bagi semua pihak. Meskipun tiap-tiap masyarakat memiliki cara sendiri-sendiri untuk menyelesaikan perselisihan tersebut,akan tetapi perkembangan dunia usaha yang berkembang secara universal dan global mulai mengenal bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang homogen, “menguntungkan” dan memberikan rasa “aman” dan keadilan bagi para pihak.

PERADILAN ARBITRASE 
Salah satu alternatif yang dapat ditempuh apabila terjadi sengketa adalah dengan menggunakan arbitrase sebagai peradilan swasta, arbitrase ini dapat dijadikan solusi terbaikdari perselisihan yang terjadi, karena penyelesaian sengketa melalui peradilan wasit (arbitrase) memiliki arti penting dibanding dengan pengadilan resmi sepertiyang dikemukakan oleh HMN Purwosutjipto, diantaranya:

Penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dengan cepat.
Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang diper-sengketakan, yang diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak.
Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak.
Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui tentang kelemahan-kelemahan perusahaan yang bersangkutan. Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para pengusaha.

Apabila para pihak telah memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase baik secara tertulis dalam kontrak maupun diluar kontrak,yang dengan tegas memberikan kewenangan kepada arbiter untuk memutus pada tingkat pertama dan terakhir, maka hal ini mengikat mereka sebagai Undang-undang sesuai dengan asas keperdataanyang diatur dalam pasal 133 K.U.H perdata.

Dengan demikian pihak-pihak yang berselisih memilih cara penyelesaian sengketa antara mereka dengan mengangkat seorang arbiter atau lebih, yang bertindak sebagai penengah (arbitrator) dan memiliki kekuasaan untuk memutus (arbitrator power) menurut kebijaksanaanya.

PUTUSAN ARBITRASE
Dalam menyelesaikan perselisihan dalam prakteknya para arbiter memutuskan sebagai orang-orang baik, menurut keadaan dan kepatuhan. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip umum mengenai kontrak dalam hukum,yang harus dilaksanakan dengan itikad baik sesuai dengan ketentuan pasal K.U.H perdata. Para arbiter yang diberikan kekuasaan untuk memberikan keputusan sesuai dengan keadilan maka keputusan harus sesuai dengan peraturan yang berlaku, mereka juga terikat memberikan alasan-alasan untuk keputusan mereka dan memperhatikan peraturan-peraturan hukum.

Pemeriksaan dalam arbitrase dapat mengikutsertakan pihak ketiga di luar perjanjian dalam proses penyelesaian sengketa dengan syarat terdapat unsur kepentingan yang terkait, keikutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersengketa, dan juga disetujui oleh arbiter atau majelis yang memeriksa sengketa yang besangkutan (Pasal 30). Para pihak bebas menetukan acara arbitrase yang akan digunakan selama tidak bertentangan dengan Undang-undang.

Putusan arbitrase harus diambil menurut peraturan hukum yang berlaku, kecuali dalam klausula atau persetujuan arbitrase tersebut telah diberikan kekuasaan kepada (para) arbiter untuk memutus menurut kebijaksanaan (ex aequo et bono) (pasal 631 Rv). Dalam hal ini putusan yang diambil harus menyebutkan nama-nama dan tempat tinggal para pihak berikut amar putusan nya, yang disertai dengan alasan- dan dasar pertimbangan yang dipergunakan (para) arbiter dalam mengambil putusan , tanggal diambilnya putusan, dan tempat dimana putusan diambil, yang ditanda tangani oleh (para) arbiter. Dalam masalah seorang arbiter menolak menandatangani putusan, hal ini harus dicantumkan dalam putusan tersebut, agar putusan ini berkekuatan sama dengan putusan yang ditanda tangani oleh semua arbiter. (pasal 632 jo pasal 633 Rv)

Penyebutan tanggal dan tempat putusan diambil merupakan hal yang penting, karena terhitung empat belas hari dari sejak putusan dikeluarkan, putusan tersebut harus didaftarkan di kantor Panitera Pengadilan Negeri setempat, yaitu tempat dimana putusan arbitrase telah diambil (pasal 634 ayat (1) Rv). Putusan arbitrase tersebut hanya dapat dieksekusi , jika telah memperoleh perintah dari Ketua Pengadilan Negeri tempat putusan itu didaftarkan, yang berwujud pencantuman irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” pada bagian atas dari asli putusan arbitrase tersebut . selanjutnya putusan arbitrase yang telah memperoleh irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” tersebut dapat dilaksanakan menurut tatacara yang biasa berlaku bagi pelaksanaan suatu putusan pengadilan (pasal 639 Rv). 

Menurut ketentuan pasal 641 ayat (1) Rv, terhadap putusan arbitrase yang mempunyai nilai perselisihan pokok lebih dari 500 rupiah dimungkinkan untuk banding kepada Mahkamah Agung. Selanjutnya dalam pasal 15 Undang-undang Nomor 1/1950 tentang Susunan, Kekuasaan, dan Jalan pengadilan Mahkamah Agung Indonesia ditentukan pula bahwa hanya putusan dengan pokok perselisihan yang memiliki nilai lebih dari 25.000 rupiah saja yang dapat dimintakan bandingnya kepada Mahkamah Agung. Walaupun menurut kedua ketentuan tersebut, putusan arbitrase dapat dimintakan banding, ketentuan pasal 642 Rv. Dengan jelas menyebutkan bahwa tiada kasasi maupun peninjauan kembali dapat diajukan terhadap suatu putusan arbitrase, meskipun para pihak telah memperjanjian yang demikian dalam persetujuan mereka. Dapat ditambahkan disini bahwa kemungkinan untuk meminta banding, seperti disebut diatas, dapat dikesampingkan oleh para pihak dengan mencantumkan secara tegas kehendak tersebut dalam klausula atau persetujuan arbitrase yang mereka buat tersebut (Pasal 641 ayat (1) Rv)

PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE
Pelaksanaan putusan arbitrase dibedakan menjadi dua yaitu putusan arbitrase nasional dan putusan arbitrase asing (internasional). Putusan arbitrase nasional adalah putusan arbitrase baik ad-hoc maupun institusional, yang diputuskan di wilayah Republik Indonesia. Sedangkan, putusan arbitrase asing adalah putusan arbitrase yang diputuskan di luar negeri.

1. Putusan Arbitrase Nasional 

Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 UU No.30 Tahun 1999. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat.

Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang mempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasar Pasal 62 UU No.30 Tahun 1999 sebelum memberi perintah pelaksanaan , Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun.

2. Putusan Arbitrase Asing (Internasional) 

Semula pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di indonesia didasarkan pada ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan pemerintah Belanda yang merupakan negara peserta konvensi tersebut menyatakan bahwa Konvensi berlaku juga di wilayah Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1958 di New York ditandatangani UN Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award. Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftar di Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981. Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing sehubungan dengan disahkannya Konvensi New York 1958. Dengan adanya Perma tersebut hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia seharusnya bisa diatasi. Tapi dalam prakteknya kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam eksekusi putusan arbitrase asing.

HAPUSNYA PERJANJIAN ARBITRASE
Perjanjian arbitrase dinyatakan batal, apabila dalam proses penyelesaian sengketa terjadi peristiwa-peristiwa:

Salah satu dari pihak yang bersengketa meninggal dunia.
Salah satu dari pihak yang bersengketa mengalami kebangkrutan, novasi (pembaharuan utang), dan insolvensi.
Pewarisan.
Hapusnya syarat-syarat perikatan pokok.
Pelaksanaan perjanjian arbitrase dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut.
Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.

Minggu, 22 September 2013

Selasa, 10 September 2013

k o m p e t e n s i

Pasal 50 UU No 8 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman Menentukan bahwa pengadilan negeri bertugas dan berwenang memriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama.

Perkara perdata meliputi baik perkara yang mengandung sengketa (Contentious) maupun yang tidak mengandung sengketa (voluntair). Pada dasarnya dalam mengajukan tuntutan dalam perkara perdata berlaku asas “Point D’interest, Point D’actio”, tidak ada kepentingan, tidak ada tuntutan, yang berarti bahwa asal ada kepentingan (Hukum) maka seseorang dapat mengajukan tuntutan hak, baik tuntutan yang mengandung sengketa maupun tuntutan yang tidak mengandung sengketa berupa permohonan (request) misalnya dalam hal ini perkara voluntair adalah penetapan ahli waris.
 Didalam mengajukan gugatan dan permohonan pihak penggugat harus benar-benar memperhatikan kompensi pengadilan. Hal tersebut tidak lain kompetensi absolut dan kompetensi relatif. Jika hakim tidak berwenang memeriksa maka pihak tergugat dapat mengajukan tangkisan atau eksepsi bahwa hakim tidak berwenang secara relatif.
Kompetensi Absolut : wewenang badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain baik itu lingungan pengadilan yang sama (PN dan PT) maupun dalam lingkungan pengadilan yang lain (PN, PA)
Kompetensi Relatif : wewenang ini berkaitan dengan wilayah hukum suatu pengadilan. Gugatan harus diajukan kepada pengadilan negeri di tempat tergugat tinggal (Actor sequitor forum rei) Psl 118 ayat 1 HIR, Pasal 142 ayat 1 Rbg. Yang berwenang adalah PN tempat tinggal tergugat (Domisili). Contohnya jika penggugat di Yogyakarta dan tergugat berada di Bandung maka gugatan diajukan di PN bandung.
Jika yang digugat lebih dari satu tergugat dan mereka ini tidak tinggal dalam suatu wilayah hukum suatu PN, maka gugatan diajukan ke PN di tempat salah satu seorang tergugat tinggal. Penggugat dapat memilih salah satu (Pasal 118 ayat 2 HIR, Pasal 142 ayat 3 Rbg).
Apabila tergugat itu terdiri dari orang-orang yang berhutang (Debitur) dan penanggung, maka gugatan diajukan kepada PN di tempat orang yang berhutang (Debitur) Pasal 118 ayat 2 HIR dan Pasal 142 ayat 5 Rbg.
Penyimpangan  asas Actor sequitor forum rei  yakni dalam hal tergugat tidak punya tempat tinggal yang dikenal maupun tempat tinggal yang nyata/ apabila tergugat tidak dikenal. Dalam hal ini gugatan diajukan kepada PN di tempat penggugat tinggal. Pasal 118 ayat 3 HIR, Pasal 142 ayat 3 Rbg.
Apabila gugatan itu mengenai benda tetap, maka gugatan diajukan kepada pengadilan negeri di tempat benda itu terletak (Forum rei sitae). Hal ini diatur pada pasal 118 ayat 3 HIR, dan Pasal 142 ayat 5 Rg.
Sumber : Hukum Acara Perdata , Prof. Sudikno mertokusumo dan sumber lainnya.

Senin, 09 September 2013

Proses Pemeriksaan Perkara Perdata

Ada 2 (dua) macam perkara perdata, yaitu Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi.Proses pemeriksaan perkara perdata (gugatan) timbul karena adanya gugatan yang diajukan oleh pihak penggugat ke pengadilan.
Adapun proses pemeriksaan perkara gugatan (dalam praktek) biasanya sebagai berikut :
  1. Diawali karena adanya gugatan masuk ke pengadilan. Gugatan tersebut diproses dahulu di bagian panitera perdata yaitu mulai dari membayar panjar biaya perkara, penetapan nomor register perkara, disampaikan ke Ketua Pengadilan, Ketua Pengadilan menetapkan Majelis Hakim, selanjutnya Majelis Hakim menetapkan hari sidang dan memerintahkan melalui panitera agar pihak penggugat dan tergugat dipanggil sesuai dengan hari sidang yang telah ditetapkan.
  2. Pada persidangan pertama jika  Penggugat atau wakilnya tidak pernah hadir setelah dipanggil secara patut dan sah selama 3 kali berturut-turut maka majelis hakim akan memberikan putusan gugatan gugur. Sebaliknya jika Tergugat tidak hadir setelah dipanggil secara patut dan sah selama 3 kali berturut-turut maka majelis hakim akan memberikan putusan Verstek. Namun demikian jika Penggugat dan Tergugat hadir, maka majelis hakim akan menanyakan dahulu apakah gugatannya ada perubahan, jika ada diberika kesempatan untuk merubah dan dicata panitera pengganti. Jika tidak ada perubahan majelis Hakim akan  melakukan mediasi untuk berdamai paling lama 40 hari.
  3. Jika selama 40 hari tersebut mediasi ataud amai tidak tercapai, maka persidangan selanjutnya adalah pembacaan gugatan oleh Penggugat. Dalam prakteknya pembacaan gugatan selalu tidak dilakukan yang terjadi adalah gugatan dianggap dibacakan sepanjang antara Penggugat dan Tergugat sepakat. Hal ini untuk menghemat waktu. karena pada dasarnya gugatan tersebut sudah dibaca oleh Tergugat ketika gugatan disampaikan pengadilan (juru sita) minimal 3 hari  sebelum persidangan pertama dimulai.
  4. Setelah pembacaan gugatan selesai atau dianggap  dibacakan, Majelis Hakim menanyakan kepada Tergugat apakah ada tanggapan baik lisan maupun tertulis. Apabila lisan majelis hakim pada persidangan tersebut akan mencatat  dan apabila tertulis biasanya diberi kesempatan 1 minggu untuk menanggapinya yang disebut dengan Jawaban Tergugat atas Gugatan Penggugat. Dalam jawaban tergugat ini tergugat dapat melakukan bantahan, mengakui dan tidak membantah dan tidak mengakui (referte) serta mengajukan eksepsi (formil dan materil) dan rekonvensi (gugatan balik).
  5. Pada persidangan selanjutnya adalah menyerahkan Jawaban Tergugat. Dalam prakteknya jawaban tergugat tidak dibacakan tetapi diberi kesempatan kepada Penggugat secara tertulis untuk menanggapi Jawaban Tergugat  yang disebut dengan Replik Penggugat (Tanggapan terhadap Jawaban Tergugat). Replik Penggugat isinya sebenarnya harus mempertahankan dalil-dalil isi gugatan adalah benar sedangkan dalil-dalil dalam  jawaban tergugat adalah salah. Replik juga bisa lisan tentunya jika lisan jawaban harus dibacakan agar Penggugat tahu yang mana yang akan ditanggapinya.
  6. Pada persidangan berikutnya adalah menyerahkan Replik Penggugat Dalam prakteknya Replik Penggugat juga  tidak dibacakan tetapi diberi kesempatan kepada Tergugat secara tertulis untuk menanggapi Replik Penggugat   yang disebut dengan Duplik Tergugat  (Tanggapan terhadap Replik Penggugat). Duplik Tergugat isinya sebenarnya harus mempertahankan dalil-dalil jawaban Tergugat  adalah benar sedangkan dalil-dalil dalam  Replik Penggugat  adalah salah. Duplik  juga bisa lisan tentunya jika lisan Replik harus dibacakan agar Tergugat  tahu yang mana yang akan ditanggapinya.
  7. Pada persidangan berikutnya, adalah menyerahkan Duplik Tergugat yaitu tanggapan terhadap Replik Penggugat. Setelah Duplik, majelis hakim akan melanjutkannya penyerahan alat-alat bukti tertulis Penggugat. Kemudian Tergugat diminta juga menyerahkan alat-alat bukti tertulis kepada majelis hakim.
  8. Setelah penyerahan alat bukti tertulis selesai, jika penggugat merasa perlu menghadirkan saksi-saksi untuk mendukung alat bukti tertulisnya, maka majelis hakim memberikan kesempatan dan dilakukan pemeriksaan saksi untuk diminta keterangannya sesuai perkara. Setelah itu baru diberi kesempatan juga pada Tergugat untuk menghadirkan saksi untuk dimintai keterangannya.
  9. Setelah pemeriksaan alat bukti selesai, dilanjutkan dengan pemeriksaan setempat (PS) yaitu Majelis Hakim akan datang ke lokasi objek sengketa (tanah) untuk melihat fakta apakah antara isi gugatan dengan fakta dilapangan mempunyai kesesuaian.
  10. Apabila pemeriksaan setempat selesai, dilanjutnya dengan kesimpulan oleh penggugat maupun tergugat.
  11. Terakhir adalah putusan hakim (vonis). Jika eksepsi diterima putusannya adalah gugatan tidak dapat diterima (NO), jika gugatan dapat dibuktikan oleh penggugat putusan hakim adalah mengabulkan baik seleuruh maupun sebagian serta jika gugatan tidak dapat dibuktikan oleh Penggugat, putusan hakim adalah menolak gugatan. (CATATAN : SEBELUM VONIS HAKIM DIJATUHKAN, PERDAMAIAN MASIH DAPAT DILAKUKAN, BAHKAN PERDAMAIAN TERSEBUT HARUS SELALU DITAWARKAN HAKIM PADA SETIAP TAHAP PERSIDANGAN).
  12. Terhadap putusan hakim, jika para pihak merasa keberatan dapat melakukan upaya hukum Banding ke Pengadilan Tinggi. Pernyataan banding tersebut dapat dilakukan pada saat putusan dijatuhkan atau pikir-pikir setelah 14 hari sejak putusan dijatuhkan.

(rangkuman diktat kuliah dan berbagai sumber lainnya)